Kalau kita membuka lembaran-lembaran buku sejarah Tanah Air, kita akan membaca suatu kerajaan yang terbesar di Indonesia pada abad ke-VI/VII. Sebuah kerajaan berbasiskan Budha yang mencapai puncak kecemerlangannya. Wilayahnya meliputi Sumatera, Jawa, semenanjung Melayu (Malaysia), beserta pulau-pulau di sebelah Timur Sumatera, bahkan di Asia. Kerajaan tersebut adalah SRIWIJAYA namanya (683-1377), menurut naskah-naskah kuno serta tutur orang-orang tua/sesepuh terletak di Bukit Siguntang. Oleh karena Sriwijaya terletak di tepian sungai besar, maka di situlah tempat pusat kebudayaan, perdagangan dan pusat i1mu pengetahuan.

Pada waktu dan gilirannya, penyebaran dakwah Agama Islam di beberapa wilayah dunia, termasuk di Indonesia, tidaklah menggunakan jalan kekerasan, peperangan, atau dengan pedang seperti yang kerap kali didengungkan oleh para orientalis. Islam disebarkan sebagai suatu agama yang mengajarkan para pengikutnya untuk berfikir dan berbuat secara rasional. Di Bumi Sriwijaya, Islam juga masuk dengan jalan damai langsung dari Arab melalui hubungan perniagaan dan hubungan perkawinan antara para pedagang asing dengan penduduk setempat, sehingga terjadi akulturasi dan transformasi budaya yang cukup signifikan antara Islam dan budaya setempat (lokal) seperti tradisi, adat istiadat, perilaku, sikap, dan pola hubungan masyarakat.

Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan” 29 Nopember 1984, Islam masuk ke Sumatera Selatan, terutama Palembang, terjadi sekitar abad pertama hijriyah atau abad ke-8 Masehi dengan jalan damai melalui pelayaran dan perdagangan. (Gadjahnata 1986).

RM. Akib (1929: 4-5), sebelumnya telah mempertegas masuknya Islam ke Palembang:

“Dalam tahun 622 (zaman Rasulullah masih hidup), adalah Abdul Wahab diutus baginda Rasulullah pergi ke Tiongkok, akan mengembangkan agama Islam di sana. Ia berlayar melalui Selat Malaka dan Singapura singgah di Sumatera Utara. Dalam tahun 628, sewaktu Nabi Muhammad saw. masih hayat, beliau sudah mengutus Wahab Abi Kasbah buat mengunjungi kaisar Tiongkok dengan tanda bersahabat dan merencanakan Islam serta dimintanya kaisar ini memeluk agama Islam dan mengizinkan menyiarkan Islam di antara penduduk Tiongkok. Perjalanan dan pelayaran utusan ini melalui Sumatera, Selat Malaka dan terus ke Tiongkok. Kemudian berturut-turut saudagar-saudagar Arab datang ke Indonesia, lebih-lebih setelah Rasulullah wafat

Dalam pertengahan abad VII itu ditaklukannya tanah Persi, lalu berdiamlah mereka di Baghdad dan Kuffah. Dari sana menjalar ke India, lalu ke Aceh dan Palembang. Pada tahun 674 sudah ada seorang kepala dagang Arab di Pantai Sumatera Barat, sedang di Palembang agaknya lebih dahulu didatangi oleh orang serupa itu, sebab kebanyakan saudagar-saudagar Arab, Cina dan Hindu dalam abad VII itu melayari selat Malaka dan Laut Cina Selatan terus ke Laut Jawa dan terus ke Maluku.”